Cerpen

Kenyataan menyakitkan itu sudah berlalu cukup lama, namun sampai saat ini Cares tetap hidup dalam kehampaan. Ia memang dapat hidup lebih lama dan dapat kembali melihat dunia, namun apalah arti semua itu bila tak ada orang yang ia cintai di sampingnya
Hal yang Cares lakukan semenjak Bram pergi hanyalah melamun, menangis, dan kadang menjerit histeris. Semua orang di sekitarnya merasa simpati padanya, mereka terus berupaya untuk mengembalikan keceriaan dalam hidupnya, namun semuanya tak menghasilkan apapun. Cares tetap seperti itu, ia seolah menyembunyikan diri dari keramaian dunia.
Hari telah berlalu, tahun pun telah berganti, namun gadis itu masih saja meratapi kepergian sahabatnya. Sepanjang tahun ini, hidupnya hanya dihabiskan dengan melihat foto dimana ada dirinya dan sahabatnya. Dalam kenangan itu mereka tampak bahagia, senyum manis terukir di wajah keduanya.
Matahari mulai turun ke tempat persembunyiannya. Semburat awan oranye pun sudah tampak di pinggiran matahari. Gadis itu ada disini. Di tempat yang penuh kenangan bersamanya. Di tempat dimana ia selalu melihat senyuman manis darinya, dulu. Bukit itu, benar-benar tempat terindah yang pernah Cares temukan dalam hidupnya. Tempat yang juga selalu Bram injak, dulu.
Semilir angin sore membuat seorang gadis cantik betah untuk berdiam diri di sebuah bukit di pinggir kota. Berulang kali bibir tipis dan nampak pucat itu tersenyum saat melihat lelaki di hadapannya memainkan gitar dan menyanyikan lagu kesukaannya.
“Cares…” ucap seseorang sambil menepuk pelan pundak gadis itu yang membuatnya tampak terkejut. Orang itu mengambil tempat duduk di samping Cares, “Ah, maaf apa Ayah mengagetkan kamu?” tanya orang itu lagi.
Cares hanya menggangguk sebagai jawaban atas pertanyaan orang yang ada di sampingnya itu.
“Kamu lagi apa di sini?” tanya Ayah dengan lembut.
“Aku bosan di rumah terus!” jawab Cares sambil cemberut.
“Tapi sekarang sudah sore, kita pulang yuk?” kata Ayah lagi.
Cares menoleh, “Nggak ah, aku masih mau di sini,” ucap Cares lalu kembali mengarahkan tatapannya pada seseorang yang ada di hadapannya itu.
“Tapi Kak…”
Cares menempelkan telunjuk pada bibirnya, “Ssst. Tiana, diamlah. Aku lagi asyik dengar Bram nyanyi,” Cares menoleh pada Tiana tersenyum, “Bukannya kamu juga suka kan kalau dengar dia nyanyi?”
Ayah tampak miris mendengar penuturan putrinya itu, bagaimana bisa Cares mengatakan hal demikian padahal tak ada orang lain selain mereka berdua di sini. “Kak, Bram sudah pergi jauh meninggalkan bumi ini, gimana bisa dia bernyanyi untuk Kakak saat ini?”
Mendengar hal itu Cares pun merasa seolah terlempar dan kembali teringat pada kenyataan sesungguhnya yang ada saat ini. Ya, biasanya ada lelaki bersamanya disini. Kini hanya angin dan ruang tembus pandang yang dapat ia lihat, bukan lagi Bram.
Cares tak menemui lagi sosok Bram di sampingnya, ia menghilang tanpa meninggalkan jejak. Cares memanggilnya ke setiap penjuru, namun yang menjawab hanyalah angin yang berdesir di bukit itu.
Cares kembali menyisir bukit sepanjang senja, berteriak memanggil satu nama yang selalu sama, Bram. Ia berlari dan terus berlari hingga tak tersisa sedikit pun daya dalam tubuhnya. Dan ia pun jatuh terperosok dengan tanpa henti menyebut namanya dengan suara yang mulai serak. Cares kembali memperhatikan siluet senja, meratapi apa yang telah terjadi dengan rintihan yang menyakitkan.
Pada senja di sore itu Cares membiarkan matanya menangis sejadi-jadinya. Bram tak lagi mencoba menghentikannya, karena ia memang tak lagi ada disana. Dalam senja yang hadir kali ini, Cares kembali menyuarakan isi hatinya…
“Terima kasih untuk semua pengorbanan yang begitu besar yang telah kamu kasih buat aku. Karena pengorbananmu lah sampai detik ini jantungku bisa berdetak dan mataku kembali bisa melihat dunia,” Cares menatap langit sejenak dan kembali melanjutkan, “Cintaku, Kasihku, Sayangku, ketahuilah… Aku gak akan pernah meminta Tuhan untuk mengirimkan cinta lain buat aku, karena cintaku yang sesungguhnya telah ada dan bersatu dalam jiwa dan ragaku. Meski kita telah berbeda, tapi rasa yang kita miliki akan tetap ada.” Cares menghela nafas, “Cinta, kasih, dan sayangku buat kamu gak akan pernah pudar sampai kapan pun. Rasaku buat kamu akan mengalir seperti derasnya air di lautan, abadi dan gak akan pernah ada habisnya.”
Dalam kepedihan yang menyeruak, seperti biasa seseorang akan menyentuh lembut pundak Cares. Ayah, selalu Ayah yang mengajak Cares untuk pulang. Setiap senja, Ayah selalu meminta Cares agar ia mau kembali pulang –meninggalkan bukit ini– dan agar Cares berhenti menanti sosok Bram yang sudah tidak mungkin lagi bisa hadir mengisi hidupnya.
Sepanjang pulang, Cares melihat banyak orang –di sepanjang jalan dan di celah-celah jendela rumah yang ia lewati– menatapnya iba. Mungkin mereka merasa empati terhadap gadis yang selalu rutin mengunjungi bukit setiap kali senja datang.
Gadis itu selalu membawa catatan kecil yang berisi curahan hatinya tentang betapa perih dan hancurnya ia ditinggal sahabat sekaligus orang yang ia cintai. Keadaan gadis itu selalu sama setiap mata mereka menatapnya, raut wajahnya begitu memilukan dan matanya memancarkan kepedihan yang teramat dalam. Dan gadis itu tidak lain adalah Caresse Putri.
Cerpen Karangan: Deyanggi Bhi
Blog: www.http//world-sastra.blogspot.com
Facebook: Deyanggi Bhi Author
Deyanggi Bhi adalah seorang remaja yang gemar menulis fiksi sejak kecil.Sedang mengenyam pendidikan kelas XI jurusan IPS di SMAN 6 Garut. Penulis Novel, Pengamat Sastra, Pecinta Fiksi.
Share on Google Plus

About Windha

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar